LATAR BELAKANG
Dalam kesenian kebebasan
bukan perihal yang absolute, seni merupakan hasil dari kreativitas manusia, dan
mempunyai tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Seni bersifat sangat
personal, namun suatu karya seni tak bisa berdiri sendiri, butuh hubungan
timbal balik antara pencipta dan penikmatnya. Unsur-unsur dalam karya seni mencakupi
pesan-pesan moral, nilai edukasi, dan cara pandang yang lain terhadap suatu persoalan
maupun fenomena disekitarnya, jika dilihat dari hal tersebut sebuah karya seni tidak
bisa membebaskan diri dari tanggung jawab moralnya.
Pencekalan terhadap
karya seni merupakan tindak kejahatan jika hal itu merupakan usaha pembungkaman
terhadap suara-suara kebenaran, tetapi pencekalan seni yang didasari atas
keresahan masyarakat bisa menjadi kontrol terhadap para pelaku seni, agar lebih
merefleksikan lagi kerja kreatifnya. Apakah benar seniman bekerja dalam
semangat kesenian dengan tanggung jawabnya, atau ia hanya memburu keuntungan
materi semata tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkan oleh produknya.
Kebebasan dalam seni mempunyai konvensinya sendiri, sebab kebebasan seni tidak
bisa diukur dengan alat ukur apapun, dan akan menjadi dilemma apabila disalah
gunakan di tengah masyarakat yang cenderung salah dalam arti penafsiran arti dari
kebebasan.
Fotografi membuka wacana baru dalam
dunia seni Indonesia,
fotografi tidak hanya sebagai produk pendokumentasian suatu peristiwa belaka,
tetapi telah menjadi media untuk mengekspresikan ide dan gagasan demi mencapai
kepuasan batin setiap insan fotografer.
Fotografi sebagai bentuk ekspresi cenderung subjektif, Ide dapat diambil dari
pengalaman pribadi atau dari kondisi sosial dan politik di lingkungan sekitar.
Fotografi juga dapat diambil dari hasil pengamatan panca-indera sebagai subjeknya,
sehingga keindahan bukan lagi terdapat dalam objek yang digambarkan, melainkan
tergantung dalam pemberian makna dari setiap subjek atas objek material yang
diangkat dalam bentuk fotografi seni.
Nude Photography atau biasa disebut
fotografi telanjang sering kali disalah artikan sebagai seni pornografi. Hal
ini dikarenakan konsep fotografi ini yang memang lebih mengekspose bagian dari
bentuk tubuh wanita ataupun pria. pengertian Nude Photography adalah Seni
Fotografi yang menggambarkan bentuk tubuh manusia telanjang sebagai sebuah
penelitian. Ada
beberapa ciri-ciri dari bentuk fotografi telanjang diantaranya, Seni Fotografi
Telanjang seringkali tidak menunjukkan wajah sama, umumnya Fotografi telanjang
tidak berupa foto snapshot, dan menggunakan pengaturan cahaya untuk mendapatkan
tekstur struktur tubuh yang diinginkan. Fotografi Telanjang sendiri berbeda
dengan Fotografi Erotis (Erotic Photography) dan Fotografi Glamor (Glamour
Photography) yang mana memang memiliki komponen bernada seksual dan lebih menekankan
pada model seksualitas, dan memperlakukan model sebagai subjek utama. Dalam
artian gambar atau foto yang diambil itu merangsang dan memang bermaksud untuk
merangsang para penikmatnya dengan menunjukkan tindakan seksual.
Eksploitasi anatomi tubuh manusia
sangat dekat dalam penciptaan karya seni, dan sudah muncul pada era renaissance
yang disebut oleh sebagian pengamat seni sebagai awal puncak kebudayaan baru
seni Eropa. Pada era penjajahan kolonial belanda
di Indonesia, eksploitasi terhadap tubuh manusia sudah terekam dalam karya
fotografi, yang dikenal dengan “Gadis Telanjang” karya Ali S. Cohan, pengaruh kebijakan politik kolonial
belanda yang sangat kuat, membuat seniman fotografi saat itu bekarya untuk
memenuhi pretensi tertentu, terkait keperluan eksplorasi kebudayaan Indonesia
oleh Belanda dan kompensasi finasial yang menjanjikan. Namun gejala-gejala
impresi seniman fotografi saat itu telah tampak pada karya-karyanya, kemudian
akhirnya dalam peradaban seni modern saat ini, kekuatan impresi seorang seniman
adalah modal utama untuk menciptakan karakteristik.
Gambar 1.1
“Gadis Telanjang”
1901
karya Ali S. Cohan
B.Aspek
Hukum UU Pornografi
Sebagai seniman
fotografi harus mengenal hukum-hukum tentang UU pornografi, agar
dalam berkarya tidak melewati batasan-batasan tentang pornografi dan akibatnya
terkena sanksi. Diperlukan melatih pola pikir untuk menafsirkan UU sebagai
dasar peraturan hukum di Indonesia,
karena tiap-tiap UU akan menghasilkan interprestasi yang berbeda-beda,
tergantung SDM yang menginterprestasikannya. Mungkin bagi seniman karya nude
fotografi sebagai media refleksi jiwa, namun bagi orang lain belum tentu sama
dalam menilai, bisa saja itu menimbulkan gairah dan birahi. diantaranya pasal
tersebut adalah:
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG PORNOGRAFI
LARANGAN DAN PEMBATASAN
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1)
Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara
eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa
pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;
atau
d. menawarkan atau mengiklankan,
baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Karya Fotografi
nude secara umum telah memenuhi syarat untuk terkena sanksi dalam Pasal 4, ”Setiap
orang dilarang memproduksi” sudah pasti kerja seniman adalah memproduksi barang
seni, sebagai contoh karya seni kolaborasi antara seniman fotografi dan lukis, yaitu
Davy Linggar dan Agus Suwage, yang menampilkan karya berjudul Adam dan Hawa di
Museum Bank Indonesia dalam rangka acara Biennale Jakarta 2005. Karya ini
menampilkan sosok Adam yang dilakoni oleh Anjasmara dan Hawa oleh Isabele Yahya
dengan berlatar belakang kisah Nabi Adam dan Hawa di Surga.
Karya yang menuai
kontroversi ini, apabila ditafsirkan menurut UU Pornografi, bisa dikategorikan
dalam pornografi karena syarat dari pornografi itu adalah, menggambarkan ketelanjangan
atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Dalam kasus ini alat kelamin belum
ditampilkan secara eksplisit, juga masih mengandung unsur-unsur etika dan
estetika dimana dalam karya aslinya foto tersebut, alat kelamin model ditutup
dengan daun melalui proses digital. Untuk itu perlu berhati-hati dalam
menciptakan karya fotografi nude, karena penafsiran UU tiap-tiap orang pasti
berbeda-beda.
Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan
atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1).
Dalam Pasal 5 ditegaskan bagi setiap
orang dilarang melakukan proses pinjam-meminjam, serta unduh dan download yang memuat pornografi. Namun
teknologi digital memungkinkan peristiwa ini akan terjadi, bagi seniman
fotografi yang selalu berdampingan dengan teknologi harus benar-benar
memproteksi karya mereka, jangan sampai disalahgunakan oleh oknum-oknum
tertentu. Sehingga tampa
sepengentahuan seniman karya tersebut telah ada di Internet.
Pasal 6
Setiap orang dilarang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Dalam
kasus ini pihak-pihak instasi kesehatan dan pendidikan diberi kewenangan oleh
permerintah untuk memanfaatkan pornografi sebagai media pembelajaran, fotografer
harus selektif dalam menerima order dari orang lain, jika itu dari permintaan
instasi yang dapat kewenangan fotografer boleh memberikan jasa fotografi
telanjang.
Gambar 1.3
“pregnant massage”
Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai
atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Sebagai
pencipta karya seni fotografer membutukan materi dan fasilitas, namun perlu
diperhatikan jika itu berhubungan dengan nude fotografi, harus berhati-hati
karena salah penafsiran bisa menyebabkan sanksi pidana. Fotografer selain
mencipta juga bisa dituntut sebagai fasilitator pornografi.
Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan
sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan
orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal
8 dan 9 merupakan hal ini dekat dengan fotografer sebagai subjek dan objek
karya seni, jangan sampai keterlibatan fotografer dalam pembuatan foto
telanjang berakibat buruk terhadap dirinya.
Pasal 10
Setiap orang dilarang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang
bermuatan pornografi lainnya.
Fotografi
sebagai karya dua dimensi atau karya yang bisa dilihat melalui hasil cetakan
ataupun media teknologi lain, memang tidak begitu bermasalah dengan Pasal 10
karena lebih kearah pertunjukan seperti konser dangdut dan perfilman. Namun
jika pembuatan karya foto telanjang outdoor hal ini bisa terkena sanksi.
Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan
anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak,
membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak
dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Foto
sebagai media komunikasi sering digunakan dalam dunia periklanan, tidak menutup
kemungkinan akan melibatkan anak-anak sebagai modelnya, contoh iklan produk
mandi untuk anak-anak. Begitu juga dalam menciptakan karya-karya dokumnter
suatu desa, sering terdapat anak-anak yang berenang disungai bertelanjang
sebagai objek fotografi. Perlu diperhatikan untuk mengekspos karya tersebut,
karena hal sensitif seperti ini bisa mengarahkan fotografer dalam masalah dan
terkena tuntutan UU pornogarfi Pasal 11 dan 12.
Gambar 1.4
“anak-anak teratak
buluh mandi disungai”
C. KESIMPULAN
Seniman mencoba
mengajak masyarakat menilai karya-karya nude fotogarfi dari berbagai sudut
pandang dewasa, tetapi perlu didefinisikan pandangan dewasa dalam hal ini
seperti apa, karena belum ada batasan seni dan fotografi, sehingga persepsi
tiap individu bisa saja berbeda-beda. Namun dalam hal ini, hidup di negeri
Timur yang masih mengedepankan norma, etika, dan agama, dimana permasalahan ini
tidak dapat ditafsirkan melalui data-data hukum dalam UU pornografi. Tetapi
dibutuhkan refleksi dari senimannya untuk mediasi karya sebelum membuat sebuah
karya yang berhubungan dengan pornografi agar tidak terjadi kesalahan dalam
penafsiran.'
Syamyatmoko, Pekanbaru, 20 Juli 2014
D. DAFTAR
PUSTAKA
M.
Dwi Marianto, Seni Kritik Seni,
Yogyakarta: Lembaga Penelitian, ISI Yogyakarta,
2002
Ririt
Yuniar, “Orientasi dan Manipulasi dalam Dunia Fotografi: Suatu Analisis Ruang
dan Waktu” dalam Timbul Haryono (Penyunting), Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu, Jakarta: Penerbit Wedatama Widya Sastra, 2009
Subroto,
“Fotografi Sebagai Media Ekspresi Seni”,
Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M. A., BP ISI Yogyakarta,
2006
SUMBER LAIN